SOSIOLOGI PENDIDIKAN

STRUKTUR DAN HUBUNGAN-HUBUNGAN PERANAN DALAM KELAS

OLEH:

M. AMIN KUTBI

BAB I PENDAHULUAN

Kini, kelas dikenal sebagai masyarakat kecil. Karena itu sudah lazim dan perlu kelas tersebut memiliki moralitas yang seimbang dengan besar ukurannya, corak elemen, dan fungsinya. Yang dimaksud dengan moralitas disini adalah kedisiplinan….. dilain pihak, masyarakat kelas agak berbeda dengan masyarakat keluarga. Masyarakat kelas lebih banyak mendekati masyarakat orang dewasa pada umumnya. Karena di dalam kenyataan, jumlah orang dalam masyarakat kelas relatif lebih besar dibandingkan dengan di dalam keluarga. Disamping itu, para individu yang membentuk masyarakat kelas (guru dan murid), mereka terbendung tingkah lakunya bukanlah karena perasaan atau piferensi perorangan melainkan atas dasar pertimbangan umum dan abstrak, dimana ungsi sosial tersebut berada ditangan guru sementara kondisi mental para muridnya belum matang. Oleh sebab itu, tata aturan kelas tidak bisa mengadakan penyesuaian dengan temperamen yang ada….. inilah yang dikenal sebagai inisiasi pertama terhadap ketetatan kewajiban. Dalam hubungan ini, para murid memulai menjalani hidup sebagai layaknya masyarakat dewasa dengan sunbguh-sungguh.

Emile Durkheim

Murid mempengaruhi guru, dan sebaliknya guru juga mempengaruhi belajarnya murid. Para murid, juga saling mempengaruhi antara yang satu dengan yang lainnya. Adanya struktur sosial informal yang berlangsung dalam masyarakat kelas, menimbulkan berlain-lainnya perlakuan guru terhadap murid.

Elizabeth Cohen[1]

Berdasarkan dua teori diatas penulis mencoba mengambil permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini. Yaitu:

  1. Apa yang dimaksud dengan struktur sosial di dalam kelas?
  2. Bagaimana peranan guru dalam kelas ?
  3. Bagaimanakah hubungan antara guru dan murid ?
  4. Bagaimanakah hubungan antara murid dengan murid?

BAB II PEMBAHASAN

  1. 1. STRUKTUR SOSIAL DALAM KELAS

Bila kita bicara tentang “struktur” bangunan maka yang dimaksud adalah material, hubungan antara bagian-bagian bangunan dan bangunan  itu dalam keseluruhannya sebagai gedung sekolah, kantor dan lainnya. Demikian pula ketika kita berbicara tentang struktur sosial, maka yang dimaksud adalah materialnya yang meliputi jumlah orang, peria, wanita, dewasa, anak, guru, murid, dan sebaginya, kemudian hubungan antara bagiannya (hubungan guru dengan guru, murid dengan murid, apa yang diharapkan guru dari murid dan sebagainya), dan struktur sosial itu dari keseluruhan.[2]

Dalam struktur sosial kita ketahui disana terdapat sebuah sistem kedudukan dan peranan anggota-anggota kelompok yang kebanyakan bersifat hierarki, yakni dari kedudukan yang tinggi dimana mereka memegang kekuasaan yang paling banyak sampai posisi atau keududukan yang paling rendah. Jika kita kaitkan dengan struktur sosial di dalam kelas, guru merupakan orang yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada murid. Dan biasanya murid-murid yang berada dalam kelas rendah merasa mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari murid-murid yang berada di kelas yang lebih tinggi.

Jika kita lihat struktur yang seperti itu memungkinkan bagi kelas mnjalankan ungsinya sebagai lembaga edukatif dengan baik. Artinya masing-masing mempunyai kedudukan tertentu dan menjalankan peranan seperti yang diharapkan menurut kedudukannya. Dengan demikian, ketika terjadi konflik dapat dicegah dan dapat dijamin kelancaran dari usaha pendidikan di dalam kelas tersebut.

  1. 2. PERANAN GURU DALAM KELAS

Peranan guru jika dikaitkan dengan murid di dalam kelas bermacam-macam, menurut situasi interaksi sosial yang terjadi atau yang dihadapi. Yaitu interaksi yang terjadi secara formal pada saat proses belajar mengajar di dalam kelas dan secara informal dimana itu terjadi di luar kelas.

Untuk lebih jelasnya penulis akan menjelaskan peranan guru di dalam klas secara formal. Dalam situasi formal, yakni dalam usaha guru mendidik dan mengajar anak dalam kelas guru harus sanggup menunjukkan kewibawaannya atau (kekuasaanya) otoritasnya, artinya seorang guru harus mampu mengendalikan, mengatur, dan mengontrol segala tindakan yang dilakukan murid di dalam kelas.[3] Kalau perlu guru bisa menggunakan kekuasaannya untuk memaksa murid belajar, melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai seorang murid. Dan guru juga bisa memaksa anak atau murid untuk mematuhi segala peraturan.

Kalau kita mengambil sebuah analisa dari pengalaman yang kita jalani ketika masih sekolah (SD, SLTP, dan SLTA), terlihat bahwa seorang guru berperan sangat otoriter (walaupun tidak semuanya). Tetapi kita bisa melihat, guru terkadang memberikan sesuatu kepada murid dikelas dengan menggunakan kekuasaanya. Ada unsur pemaksaan yang terjadi ketika proses belajar mengajar di kelas. Kemudian timbullah sebuah pertanyaan apakah peran guru itu selalu bersifat otoriter? Artinya guru menggunakan kekuasaan untuk mendidik anak. Sementara tidak semua murid dapat menerima sikap maupun sifat dari guru yang seperti itu.

Mengutip dari bukunya Sanapiah Faisal, ternyata peran guru itu tidak selamanya otoriter. Ada tiga gaya dari guru sehubungan dengan mengajarkan anak di dalam kelas yaitu Otoriter, Demokratis, dan Laissez-fire.[4]

Otoriter seperti yang dijelaskan tadi bahwa guru yang otoriter tujuan umum, keegiatan khusus, dan prosedur kerja kelompoknya semuanya didekte oleh pemimpinnya. Akan tetapi pemimpinnya tetap menjauhkan diri dari artisipasi aktif kecuali apabila menunjukkan atau memberikan tugas. Kemudian kalau demokratis semua kegiatan dan prosedur kerjanya ditetapkan secara keseluruhan. Pemimpinnya ikut aktif dan berusaha menjadi anggota biasa dengan semangat tanpa melakukan teerlalu banyak kerja. Laissez-fire maksudnya adalah kebebasan sepenuhnya bagi kelompok maupun individu untuk menentukan keputusan, dengan sedikit partisipasi dari pemimpin atau dalam hal ini adalah guru.Jadi disini seorang guru harus bisa berperan sebagai seseorang yang dapat memimbing anak didik secara formal dalam kaitannya dengan pendidikan di dalam kelas.

Untuk peran guru dalam situasi informal, yang mana situasinya berbeda dengan situasi di dalam kelas. Seorang guru dapat mengendorkan hubungan formal dan jarak sosial. Misalnya sewaktu rekreasi, berolah raga, berpiknik atau kegiatan lain yang di luar kelas (formal). Murid-murid biasanya menyukai guru yang pada saat itu dapat bergaul dengan lebih akrab dengan mereka, dapat tertawa dan bermain terlepas dari pangkat keformalan. Jadi guru itu harus bisa menyesuaikan diri atau perannya terhadap situasi sosial yang sedang dihadapi. Dan peran ini hanya bisa di lakukan ketika berada pada situasi yang informal, jika dilakukan di dalam kelas (formal) maka akan menimbulkan kesulitan kedisiplinan bagi muri itu sendiri.

Pada satu pihak seorang guru memang harus bersikap otoriter untuk mengonterol kelakuakn murid dan mendidik anak agar bersikap disiplin. Tetapi dilain pihak seorang guru harus bersikap bersahabat dengan murid dan memberikan kebebasan kepada murid dalam menentukan arah pikirannya. Tetapi kalau kita lihat realita yang ada kebanyakan guru lebih bersikap otoriter dari pada demokratis kepada muridnya. Untuk itu perlu kiranya ada sebuah sosialisasi dari semua pihak yang terkait agar sikap-sikap yang terlalu otoriter dari guru ini dapat di minimalisir sedemikian rupa, sehingga peran guru tidak dicap sebagai orang yang jelek, menyeramkan dimata muridnya.

  1. 3. HUBUNGAN GURU DENGAN MURID

Jika kita berbicara tentang hubungan guru dan murid, sebenarnya itu lebih mempunyai sifat yang relatif stabil. Dimana ciri khas dari hubungan ini adalah bahwa terdapat status yang tak sama antara guru dan murid. Guru itu secara umum diakui mempunyai status yang lebih tinggi dan karena itu dapat menuntut murid untuk menunjukkan kelakuan yang sesuai dengan sifat hubungan itu. Bila anak itu meningkat didalam kelas ada kemungkinan ia mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi dari yang lainnya.

Dalam hubungan guru dan murid biasanya hanya muridlah yang diharapkan mengalami sebuah perubahan kelakuan sebagai hasil belajar. Setiap orang yang mengajar akan mengalami perubahan dan menambah pengalamannya, akan tetapi ia tidak diharuskan menunjukkan perubahan kelakuan, sedangkan murid harus membuktikan bahwa ia telah mengalami perubahan kelakuan.

Perubahan kelakukan yang diharapkan mengenai hal-hal tertentu yang lebih spesifik, misalnya agar anak menguasai bahan pelajaran tertentu. Mengenai hal-hal yang umum, yang kabur, tidak mudah tercapai kesamaan pendapat, misalnya guru harus menunjukkan cinta kasih kepada murid, apakah ia harus bertindak sebagai sebagai orang tua, atau sebagi sahabat. Karena sifat tak sama dalam kedudukan guru dan murid, maka sukar bagi guru untuk mengadakan hubungan yang akrab, kasih sayang maupun sebagai teman dengan murid. Demi hasil belajar yang diharapkan diduga guru itu harus dihormati dan dapat memelihara  jarak dengan murid agar dapat berperan sebagai model bagi muridnya. Ada beberapa strategi yang bisa digunakan guru untuk lebih dekat (berhubungan ) dengan murid:

  1. Guru secara eksplisit mengadakan komunikasi dengan murid sehingga ia mengetahui apa yang terjadi dan bisa mencegahnya.
  2. Ikut banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang menggangu tetapi tidak terlalu asyik dengannya.
  3. Membina arus perubahan kegiatan
  4. Mengelola resitasi dengan cara yang bisa membuat murid sibuk (misalnya, menciptakan ketidakpastian tata aturan yang mewajibkan murid)

Guru akan lebih banyak mempengaruhi kelakuan murid bila dalam memberikan pelajaran dalam kelas hubungan itu tidak sepihak tetapi harus hubungan secara interaktif dengan partisipasi yang sebanyak-banyaknya dari pihak murid. Hubungan itu akan lebih efektif dalam kelas yang kecil daripada di kelas yang besar.

Ada beberapa jenis hubungan yang terjadi antara guru dan murid, dimana hubungan itu saling mempengaruhi antara yang satu dengan yang lain, yaitu:

  1. Hubungan antara hasil belajar murid dengan kelakuan guru; dalam suatu penelitian ternyata bahwa pertambahan pengetahuan murid dalam pelajaran rendah korelasinya dengan taraf disukainya guru itu oleh murid. Jadi guru yang disukai, yang ramah, suka bergaul dengan murid, yang sering dimintai nasehat mengenai soal-soal pribadi, ternyata bukan guru yang efektif dalam menyampaikan ilmu.
  2. Kelakuan murid berhubungan dengan kelakuan guru; pada umumnya perbuatan anak sebagai reaksi terhadap kelakuan guru dapat bersifat menurut atau tidak menurut, menyesuaikan diri dengan perintah guru atau menentangnya. Anak yang menunjukkan kerjasama, turut memberikan sumbangan fikiran, memberi bantuan dan dengan demikian memperlancar kegiatan pelajaran. Tidak semua kelakuan guru berhubungan dengan kelakuan murid. Tetapi kalau kita melihat sebuah realita dalam dunia pendidikan kita, terlihat bahwa jika seorang guru melakukan dominatif dalam kelas (dominasi) terhadap muridnya maka kelakuan dari murid menunjukkan sikap tidak bekerjasama. Dan guru yang melakukan dominatif terhadap murid akan ditiru oleh murid dengan melakukan dominatif terhadap murid yang lainnya.

Secara singkatnya, walaupun dalam banyak aspek peranan guru dan murid tidak seimbang, konseptualisasi interaksi antara guru dan murid berasumsi bahwa guru dan murid saling mempengaruhi satu dengan yang lainya. Guru dan murid memberikan reaksi terhadap struktur peranan kelas dengan aneka ragam cara, dan banyak guru lebih menggantungkan pada otoriter dari pada personal resource. Itu terbukti dengan pengalaman yang saya alami saat masih SD (walaupun tidak semua). Guru memberikan tugas seenaknya saja tanpa memahami kondisi anak, bahkan ketika anak melakukan tindakan yang salah menurut guru langsung dipukul tanpa memberikan kesempatan kepada anak untuk menjelaskan yang terjadi maupun membela diri.

  1. 4. HUBUNGAN MURID DENGAN MURID

Kelas bagi murid-murid dapat dipandang sebagai sistem persahabatan dan hubungan-hubungan sosial dan struktur sosial ini lebih bersifat tidak formal. Dalam lingkungan kelas diketahui bahwa murid yang satu dengan yang lain itu saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Dan aspek yang paling  menonjol dari hubungan ini adalah perasaan murid terhadap satu sama lain, apakah itu perasaan cinta (kasinh sayang) ataupun perasaan benci.

Ada dua metode utama yang digunakan dalam mempelajari struktur informal para murid. Yang pertama dan paling banyak adalah metode sosiometri. Dalam garis besarnya, kita menanyakan kepada murid siapakah diantara murid-murid, satu orang atau lebih, yang paling disukainya sebagai teman belajar, menonton bioskop, diundang kepesta atau kegiatan lainnya, atau sebaliknya yang paling dia tidak sukai, yang tidak dianggapnya sebagai teman. Dari hasil pertanyaan yang diajukan kepada murid dalam kelas itu dapat disusun suatu diagram yang disebut sosiogram yang secara visualnya jelas menunjukkan kedudukan seseorang dalam hubungan sosial dengan murid-murid lainnya. Sosiogram itu dapat memperlihatkan pengelompokkan atau klik dikalangan murid-murid dalam kelas.

Kemudian metode yang kedua adalah metode partisipasi-obserfasi, yakni sambil turut berpartisipasi dalam kegiatan kelompok selama beberapa waktu mengadakan observasi tentang kelompok. Melalaui observasi yang dilakukan pengamat menganalisis kedudukan setiap murid dalam hubungannya dengan murid-murid yang lain dalam kelompok itu.[5] Disuatu kelas kita dapat menemukan beberapa macam hubungan murid dengan murid yang lainnya, diantaranya hubungan berdasarkan usia dan tingkat kelas, kelompok persahabatan di dalam kelas.

Murid-murid di suatu kelas, yang pada umumnya mempunyai usia yang sama cenderung menjadi sebuah kelompok yang merasa bahwa dirinya mampu untuk menghadapi kelas yang lain, bahkan menhadapi guru. Kita bisa mengambil contoh dalam pertandingan dan pristiwa-pristiwa yang menyangkut nama dan kehormatan kelas itu. Terhadap kelas yang lebih tinggi mereka merasa dirinya adalah orang bawahan sebagai adik dan harus menunjukkan ras hormat dan patuh. Sebaliknya terhadap kelas yang bawah mereka merasa sebagai atasan. Antara murid-murid yang berbeda tingkat kelasnya terdapat hubungan atasan dan bawahan, atau kakak-adik. Murid-murid yang tinggi kelasnya mempunyai kekuasaan dan kontrol terhadap murid-murid yang kelasnya lebih rendah dan usianya lebih muda. Dalam tiap kelas terdapat pula bermcam-macam kelompok, tetapi kelompok itu hanya terbatas pada struktur dalam kelas itu saja.

Kemudian berbicara tentang kelompok persahabatan di dalam kelas pembentukkannya itu mudah. Suatu kelompok terbentuk bila dua orang atau lebih saling merasa persahabatan yang akrab dan karena itu ia banyak bermain bersama, sering bercakap-cakap, merencanakan dan melakukan kegiatan-kegiatan di dalam maupun di luar kelas. Mereka merasakan apa yang di alami oleh salah seorang anggota kelompoknya dan saling menungkapkan apa yang terkandung dalam dirinya (sebagai teman curhat).

Keanggotannya bersifat sukarela dan tak formal. Seorang diterima dan ditolak atas persetujuan bersama. Walaupun kelompok ini tidak mempunyai peraturan yang jelas tetapi ada nilai-nilai yang dijadikan dasar dalam melakukan atau menerima anggota. Mereka merasa kuat dan penuh percaya diri karena rasa persatuan dan kekompakan yang mereka miliki diantara mereka. Mereka mengutamakan kepentingan kelompok daripada kepentingan individual. Tidak jarang dengan prinsif yang mereka pegang seperti itu sering terjadi konflik dengan orang tua, guru, dan yang lainnya.

Secara ringkasnya dapat diambil sebuah kesimpulan sementara bahwa murid yang satu dengan yang lainnya itu memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lainnya dalam sebuah kelas. Dimana hubungan itu memiliki pengaruh terhadap struktur yang terjadi dalam kelas tersebut. Biasanya pengelompokan yang terjadi dalam sistem sosial kelas tersebut membawa pengaruh terhadap anggota dalam kelompok tersebut. Pengaruhnya bisa positif tetapi bisa juga negatif.

BAB III PENUTUP

Dalam bagian yang akhir ini penulis ingin memberikan sebuah analisa singkat tentang struktur dan hubungan-hubungan peranan dalam kelas. Ternyata struktur dalam kelas merupakan sesuatu yang penting untuk kita ketahui khususnya dalam dunia pendidikan. Banyak orang belum memahami keadaan yang terjdai dalam kelas dimana disana terdapat hubungan-hubungan peranan yang saling mempengaruhi antara yang satu dengan yang lain. Walaupun kelas merupakan sebuah struktur terkecil dari sebuah sekolah. Namun bila kita analisa disinilah sebenarnya letak keberhasilan dari output yang dihasilkan.

Interaksi yang terjadi di kelas seperti yang dijelaskan tadi merupakan sebuah fenomena aktual dalam dunia pendidikan. Tetapi ini seolah disepelekan dan masih menganut sistem yang lama. Artinya guru yang mempunyai peran dalam kelas masih menggunakan otoriternya dengan absolut (tidak semua). Bukti nyata dalam kelas SD, SM dimana murid masih dikekang dengan kekuasaan dari guru. Jika murid tidak sepaham dengan guru maka murid tersebut akan dihukum.

Inilah sebuah realita yang harus kita hilangkan dari dunia pendidikan. Konsep-konsep otoriter sebenarnya sesuatu yang bagus, tetapi disalah artikan dalam penerapannya di lapangan (lebih kepada kekuasaan untuk menindak orang lain). Untuk itu perlu adanya sebuah wacana bagaimana kita mengelola struktur yang ada dalam kelas agar lebih baik dan mereka atau komponen-komponen yang berperan dalam kelas itu dapat dikelola dengan baik. Bukan malah dimanfaatkan untuk mencari keuntungan yang merusak jiwa generasi muda.

DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 1999.

Gunawan, H. Ari, Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis sosiologi tentang berbagai problem pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.

Batubara, Muhyi, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Ciputat Pers, 2004.

Ahmadi, Abu, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta.

Robinson, Philip, Beberapa Persfektif Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 1986.



[1] Sanapiah Faisal, Sosiologi Pendidikan, Penerbit: Usaha Nasional, Jakarta

[2] Nasution, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 1999. hlm 72.

[3] Ibid, 92.

[4] Ibid, Sanapiah Faisal, Sosiologi Pendidikan, 161-162.

[5] Nasution, Sosiologi Pendidikan, 81-82.